*Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua
Bagian Kedua
Budaya ini, dikalangan urang
Rantau dan Kandangan boleh saja dianggap biasa dan bukan tabu, karena
faktor-faktor tadi. Namun kondisi ini, bagaimanapun juga memunculkan
paradigma baru dikalangan sub etnis Banjar lainnya. Karena mereka tak
bersentuhan dengan budaya ini, maka orang yang membawa belati dianggap
sebagai urang harat (orang yang hebat, red) atau wani (berani, red).
Pada urang Rantau dan Kandangan, terjadi penilaian terbalik. Di sub etnis ini, justru budaya membawa belati menandakan yang bersangkutan kada harat atau kada wani (tidak hebat, tidak berani, red). Dalam perspektif mereka, urang nang wani dan harat (orang yang berani dan hebat, red) tidak mengandalkan keberadaan belati. Karena pada urang harat dan wani, tercakup kemampuan akan Kuntau (semacam Pencak Silat, red), jagau (jagoan, pemberani, red) dan taguh (kebal, red), sehingga tidak tergantung pada keberadaan sebuah belati.
Aspek
geografis yang membentuk pola hidup, dipandang pengamat Sosial
Kemasyarakatan dari FISIP UNLAM Banjarmasin, Taufik Arbain, sebagai
faktor dominan pembentukan karakter keras dan budaya belati pada sub
etnis Banjar ini.
“Konsep bubuhan yang ada pada urang
Rantau dan Kandangan, disatu sisi memunculkan sikap solidaritas yang
sangat tinggi. Hingga pada masyarakat Banjar, muncul pribahasa samuak saliur (pribahasa Banjar, artinya kurang lebih sama dengan senasib sepenanggungan, red) dan makanan dimuntung gin diluak sagan kawan (makanan dimulutpun diberikan untuk teman, red) bagi urang Rantau dan Kandangan atau kada titik banyu diganggaman (istilah bahasa Banjar untuk orang yang pelit, red) bagi urang Halabiu,” ujar Taufik yang juga pengamat politik dan Ketua Litbang Dewan Kesenian Kalimantan Selatan.
Karakteristik alam yang keras membentuk jiwa, budaya dan perilaku keras dan tegas pada urang Rantau dan Kandangan. Konsep bubuhan dengan letak pemukiman yang berjauhan, mengharuskan mereka berbicara dengan keras, tegas dan nyaring.
Budaya belati dan tingkat solidaritas pertemanan yang tinggi dikalangan urang
Rantau dan Kandangan, memang tak bisa dipungkiri. Berbeda dengan sub
etnis Banjar pesisir yang lebih berorientasi kepada bisnis. Yang mana
pada sub etnis ini lebih mengutamakan perhitungan untung rugi dan tawar
menawar.
Budaya belati semakin konkrit manakala urang
Rantau dan Kandangan dihadapkan pada masalah yang prinsifil dan
bersinggungan dengan harga diri. Mungkin tak banyak yang tahu, bahwa
bangsa Belanda hanya mempercayakan pembukaan lahan perkebunan tembakau,
sekitar abad ke-18, di Sumatra kepada urang Kandangan saja. Bukan kepada urang Jawa, Sulawesi atau sub etnis Banjar yang lain. Bagaimanapun juga, Belanda mengakui kehebatan urang
Kandangan dalam merambah hutan. Peristiwa itu akhirnya membuka jalan
migrasi bagi sub etnis Banjar lainnya ke Tembilahan, Riau dan Malaysia.
Tapi karena kerasnya karakteristik dan ketegasan sikap urang
Kandangan, mereka enggan menjadi pekerja yang berada dibawah kekuasaan.
Hingga mereka lebih memilih sebagai pekerja tanpa ikatan.
Kekerasan dan ketegasan yang ditampil urang
Rantau dan Kandangan pulalah yang akhirnya memicu terjadinya migrasi
mereka kebeberapa wilayah, seperti ke Kota Gambut misalnya. Ketika
ditempat asal dikuasai oleh satu pihak, mereka lebih memilih madam (pindah/migrasi, red) daripada tunduk pada kekuasaan tersebut.
Akhirnya mungkin dapat ditarik satu benang merah, dimana perilaku dan budaya belati pada urang Rantau dan Kandangan, terbentuk karena keharusan untuk survive
yang disebabkan oleh faktor geografis. Dimana hal tersebut, akhirnya
menjadikan mereka lebih lambat dalam menerima transformasi budaya luar.
Kekuatan
paradigma itu akhirnya terbawa hingga sekarang. Pertentangan aturan
yang dibuat pemerintah, tak sanggup melunturkan nilai budaya nenek
moyang mereka. Karena peran orang tua bahari yang menyuruh
anaknya untuk membawa belati bila bepergian, lebih kental dan lebih kuat
tertanam dari pada dogma pemerintah, yang bagi sebagian mereka dianggap
sebagai penguasaan atau penaklukan dalam bentuk baru.
“Bawa balati tu nah mun bajalan. Mun ada apa-apa ngalih kaina. Lain mun urang nang wani, ayuha kada bagagaman
(Bawa belati bila mau bepergian. Susah nanti kalau ada apa-apa. Kalau
orang yang berani tidak apa-apa pergi tanpa senjata),”. Inilah dogma
terbesar dan mendasar hingga membuat budaya belati melekat dengan erat
dikalangan urang Rantau dan Kandangan.
Tamat
Seurce : Myrasta’s Blog
2 komentar: on "Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua ( Bagian 2 Habis )"
tes dyn
TES MANG HAHAHAHAH
Posting Komentar