*Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua
Bagian Pertama
Diranah Banjar, terdapat
beberapa sub etnis dengan budaya, perilaku dan kearifan lokal
masing-masing. Sudah jamak disini, ketika muncul ketentuan baku yang
entah mendapatkan legalitas dari mana, tentang pembagian keahlian
berdasarkan sub etnis dan perilaku yang dianut. Bagaimana dimasyarakat Banjar, urang (penduduk, red) Rantau dan Kandangan diidentikkan sebagai pelindung, urang Barabai, Amuntai dan Nagara sebagai kaum pebisnis, urang Kelua sebagai ahli perkebunan dan urang Martapura sebagai imam.
Semua
tak lepas dari budaya, perilaku dan kearifan lokal yang dianut setiap
sub etnis yang ada. Salah satunya adalah perilaku (atau budaya?) urang
Rantau dan Kandangan yang tak terpisah dari senjata tajam (disini
dikatakan sebagai belati, karena sajam bermakna universal atas senjata,
sedang urang kita banua mengistilahkan sajam yang sering dibawa, lebih spesifik lagi dengan sebutan belati atau balati bila dilafalkan dalam bahasa Banjar Pahuluan).
Sebelum berbicara tentang membawa belati sebagai suatu perilaku dan budaya masyarakat, perlu digarisbawahi bahwa urang Rantau dengan urang Kandangan
adalah satu kesatuan sub etnis Banjar. Hal itu dibuktikan dengan
kesamaan atau kemiripan budaya, bahasa dan ciri fisik.
Mereka
menjadi berbeda ketika terpisahkan oleh batas teritorial administratif
pemerintahan akibat dari pemekaran wilayah. Dari asal katanya, Rantau
yang berarti perantauan, terlihat bila daerah itu dihuni
oleh sub etnis terdekatnya yaitu Kandangan, bukan sub etnis yang
berbeda. Atau misalnya dari segi bahasa, dimana terdapat kemiripan antara bahasa urang Rantau dengan bahasa urang Sungai Raya, Kandangan, dengan ciri bahasa yang cepat, tinggi dan keras.
Dalam hal membawa belati pada urang Rantau dan Kandangan, disebabkan dua aspek yang saling berhubungan, yaitu sosiologis kultural dan geografis. Secara sosiologis kultural, urang Rantau
dan Kandangan memiliki keterlambatan dalam hal transpormasi budaya.
Keterlambatan itu sendiri, disebabkan letak geografis wilayah Rantau dan
Kandangan yang lebih kedaratan atau pedalaman.
Etnis
Banjar yang mendiami daerah pesisir, seperti Banjar sendiri, Nagara,
Amuntai dan Alabiu, mengalami transpormasi nilai budaya yang lebih
cepat. Karena merekalah yang pertama berinteraksi dengan pihak luar.
Berbeda dengan urang Rantau dan Kandangan. Letak geografis yang
lebih kedarat, membuat sub etnis ini mempunyai tatanan hidup lebih
keras dan toleransi budaya lebih kaku.
Kondisi
itu akhirnya membentuk pola dan tatanan hidup yang harus disesuaikan
dengan kondisi alam. Hal tersebut berpengaruh langsung pada pola mata
pencarian, yaitu berkebun, berhuma dan berburu. Pola itu akhirnya
mengharuskan masyarakat dari sub etnis ini senantiasa berlaku protektif
dengan membekali diri dengan senjata tajam.
Hal
tersebut dikuatkan oleh pandangan dari H Rody Ariadi Noor, seorang
tokoh masyarakat Kota Rantau. Dikatakannya, budaya membawa belati pada urang Rantau karena patokan harga diri yang sangat tinggi dan sikap protektif terhadap keluarga.
“Tingginya patokan harga diri pada urang Rantau, menjadikan mereka terkadang over protektif
terhadap keluarga. Bila ada keluarga atau kawan yang diganggu orang,
mereka siap tampil untuk membela. Ini salah satu penyebab budaya belati
yang melekat pada diri urang Rantau,” ujarnya.
Letak geografis dan pola hidup yang keras, memunculkan sebuah konsep bubuhan (kekerabatan, red). Dimana konsep bubuhan ini hanya terdapat pada urang Rantau dan Kandangan. Sedang pada sub etnis Banjar yang lain, seperti sub etnis Banjar pesisir dan Banjar sendiri, mempunyai igelilter atau tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap pengaruh luar.
Tuntutan
pola pencarian yang mengharuskan mereka berinteraksi dengan pendatang,
membuat sub etnis ini lebih terbuka terhadap transformasi budaya. Selain
itu, pada sub etnis Banjar yang nota bene adalah kalangan istana ini,
mengharuskan mereka menganut budaya sopan santun yang lebih kental.
Pola hidup berburu dan berkebun pada urang
Rantau dan Kandangan, menjadikan resestensi kehidupan mereka kental
dengan budaya membawa senjata tajam, dalam hal ini belati. Namun
penggunaan belati disini, lebih merujuk kepada upaya untuk survive, karena kondisi alam yang keras.
Hal itu diperkuat pernyataan Madi, seorang warga Rantau yang sering membawa belati. Menurutnya, budaya belati pada urang Rantau semata untuk menjaga diri. “Bagi urang
Rantau, belati adalah teman. Bila tidak membawa belati seakan tidak
berteman. Karena menurut keyakinan mereka, hanya belati yang mampu
melindungi bila sesuatu terjadi. Sedang kawan bisa saja lari,” ujarnya.
bersambung
Seurce : Myrasta’s Blog
0 komentar: on "Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua"
Posting Komentar