Senin, 13 Mei 2013

Bacakut Papadaan, Fenomena Perilaku Politik Urang Banjar…

“BAHUAL WAN BUBUHAN JUA…” 

Bacakut papadaan adalah sebuah sinonim yang berkonotasi jelek. Ba-cakut, menurut istilah Banjar Hulu atau ba-kalahi menurut istilah Banjar Kuala, bermakna berkelahi. Sedang papadaan bisa dimaknai sebagai sesama kita. Jadi istilah bacakut papadaan bisa diartikan sebagai perbuatan atau perkelahian antar sesama.
Tetapi sebenarnya bacakut papadaan lebih tepat bila dikatakan sebagai sebuah istilah, yaitu istilah yang menggambarkan tingkah laku atau sifat. Yang dimaksud “sesama” disini bisa sesuku, sebangsa, senegara, sesaudara, sekeluarga, sealiran, sekeyakinan, seagama, seorganisasi dan sesama-sesama lainnya.
Entah bila diartikan ke dalam bahasa Jawa atau Bugis misalnya, karena saya tak pandai berbahasa Jawa dan Bugis. Lagipula kita tidak sedang berbicara masalah bahasa, melainkan mencoba menelaah konteks bacakut papadaan sebagai sebuah perilaku atau sikap dan sifat urang Banjar dalam khazanah perpolitikan di banua ini.

Istilah bacakut papadaan bagi urang banua (baca: masyarakat Banjar) bukanlah hal yang asing. Dalam keseharian kita sering mendengar, bahkan mengucapkan istilah tesebut. Istilah itu disebutkan, manakala mendengar, melihat perselisihan atau pertengkaran antar sesama yang biasanya terjadi adalah antara saudara.
Sekarang ini, istilah bacakut papadaan tidak hanya berlaku pada suatu keadaan dimana terjadi sebuah pertengkaran atau perkelahian yang bersifat riil dan kasat mata. Tapi pada jajaran elite politik kita, berlaku pula istilah tersebut. Dimana pada konteks ini, perselisihan terjadi semata-mata dalam upaya untuk mempertahankan kedudukan atau usaha mencapai kedudukan dan tujuan. Baik bersifat kelembagaan atau organisasi, maupun orang perorangan. Biasanya perselisiahan yang terjadi tidak tampak riil, tetapi aura dan nuansanya dapat dirasakan melalui tingkah laku, perbuatan dan ucapan atau statement yang dikeluarkan.
Pada atmosfir perpolitikan dibanua ini sering kita temui elite politik bersaing dan saling menjatuhkan satu sama lain. Padahal kalau diurut-urut, ternyata pihak yang bacakut adalah orang yang bernaung dalam wadah yang sama. Bahkan tak jarang berasal dari wilayah asal yang sama. Dalam konteks mempertahankan jabatan atau upaya untuk meraihnya, ada kecendrungan untuk menghalalkan segala cara. Pada kondisi ini seringkali norma-norma pertemanan dan kaidah-kaidah politik yang berlaku diabaikan begitu saja. Ibarat pepatah Banjar, nang kaya kodok, tangan manyimbah batis manyipak. Orang tersingkir dan terjungkal sedang dia meloncat maju, tak peduli teman dan cara yang digunakan.

Situasi tersebut, menyebabkan nilai-nilai historis pertemanan yang pernah terjalin ketika sama-sama berjuang, akhirnya tinggal kenangan belaka. Tak jarang kenangan tersebut dijadikan pula sebagai senjata untuk meraih kemenangan. Seringkali elite politik mengeluarkan statement atau pernyataan yang sifatnya menjelekkan musuh politik, berlindung dibalik alasan hutang budi dengan maksud menjatuhkan dan mempengaruhi massa untuk mendapatkan dukungan.

Ada fenomena lucu yang belaku ketika dua orang bakalakuan (berperilaku, red) bacakut papadaan. Ada kalanya disaat dua orang tersebut larut dalam suasana persaingan, akan muncul tokoh lain yang memanfaatkan keadaan. Berusaha tampil mengedepankan kharisma yang seolah bersih, arif dan bijaksana. Pada kondisi ini, salah satu pihak yang sedang bacakut biasanya akan berputar jukung (berputar haluan, red) dan memberi dukungan pada sang pemain baru. Dan ketika tiba saat pengumuman pemenang, kedua pihak yang tadinya gencar bacakutpun terhempas kalah.

Disinilah keunikan tersebut muncul. Dimana kedua pihak yang bacakut justru senang, meski sangat jelas bila mereka tersingkir setelah semua orang tahu aib dan kejelekan mereka. Kondisi ini kemudian memunculkan istilah baru “Nyam ha lucung badudua, dari pada sorang kakalahan”(Lebih sama-sama kalah daripada hanya aku yang kalah, red). Kondisi itu memunculkan suatu fenomena baru tentang kalakuan (prilaku, red) urang Banjar yang kada mau kalah (tidak mau kalah, red), amun saurang kalah mintu jua musuh (Bila memang harus kalah, musuhpun begitu, red). Mun mati, mati ai badudua (Bila harus mati, mati bersama-sama, red).
Sifat dan sikap yang dimunculkan tersebut sekaligus penggambaran akan perilaku tidak sportif dan tidak bisa menerima kekalahan dengan alasan apapun. Ada semacam kepuasan, ketika melihat saingan tidak mendapatkan apa-apa, walaupun ianya diapun tidak mendapatkan apa-apa. Sebuah kepuasan yang absurd sebenarnya.

Sejarah Banjar mencatat banyak peristiwa bacakut papadaan. Bagaimana Pangeran Samudera berselisih dengan Pangeran Arya Temanggung yang nota bene adalah pamannya sendiri alias papadaan atawa bubuhan jua (kerabat/masih bertalian darah, red), yang mengikut sertakan orang Jawa sebagai mediator. Atau perselisihan dan perebutan kekuasaan antara Pangeran Hidayatullah dengan Tamjidillah yang mambawai (mengikutsertakan, red) Belanda untuk campur tangan. Jauh sebelum itu, juga ada peristiwa bacakut papadaan ditanah “Sultan” ini. Yaitu ketika Lambung Mangkurat membunuh dua orang keponakannya, Bambang Sukmaraga dan Bambang Patmaraga, demi sebuah kekuasaan dan permainan politik.

Sejarah kelam bangsa Indonesia yang sukses dijajah Belanda selama 350 tahun, sedikit banyak mempengaruhi sikap, tingkah laku dan pola pikir masyarakat kita. Apalagi dalam upayanya menguasai segenap lini kehidupan bangsa, termasuk banua Banjar, Belanda dengan stategi liciknya menerapkan politik Devide Et Empire. Sebuah strategi politik adu domba dikalangan masyarakat, tokoh penting, jajaran penguasa, raja-raja, sultan dan bahkan dikalangan rakyat jelata. Strategi itu, sukses membentuk karakter dan mentalitas manusia Indonesia untuk tidak mempercayai papadaan atawa bubuhan. Karena memang itulah maksud dan tujuan yang ingin dicapai dengan penerapan strategi tersebut.

Kurun waktu penekanan sistem kolonial yang demikian lama pada aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya, bagaimanapun juga ikut merubah nilai-nilai yang berkembang. Secara tidak langsung ikut pula memupuk dengan subur perilaku-perilaku buruk yang sudah ada. Ada anggapan sebagian orang, bahwa bacakut papadaan adalah budaya dan perilaku atau streotip dari urang Banjar. Saya pribadi sebagai urang Banjar, tidak sepenuhnya setuju dengan anggapan tersebut. Hanya karena istilah tersebut divokalkan dengan bahasa Banjar bukan berarti ia hanya milik urang Banjar. Saya yakin pada masyarakat luar Banjarpun mempunyai istilah sendiri untuk perilaku bacakut papadaan ini.

Bisa kita amati, betapa khazanah perpolitikan dinegeri Indonesia Raya tercinta yang konon katanya gemah ripah loh jinawi ini, penuh dengan polemik, trik dan intrik. Yang bila diperhatikan, dapat dilihat sebagai manifestasi kalakuan bacakut papadaan jua. Perpecahan yang terjadi ditubuh organisasi politik di Indonesia, ianya disebabkan oleh adanya persaingan intern ditubuh organisasi tersebut. Yang menampilkan ego masing-masing personalnya dan bila di Banjarkan, pasti disambat (dikatakan, red) sebagai perilaku bacakut papadaan pula.

Fenomena bacakut papadaan dibanua ini tak bisa lepas dari kalakuan urang Banjar yang suka manimpakul dan mailung larut (istilah Banjar, artinya kurang lebih suka ikut-ikutan, red). Adanya anggapan bahwa bacakut papadaan merupakan sifat dan budaya urang Banjar dan dianggap sudah ajal (sudah dari sononya, jar urang Jawa), tanpa disadari telah membentuk sikap apatisme yang pada gilirannya menghambat usaha untuk meluruskannya.

Sejarah perpolitikan ditanah Sultan yang senantiasa diwarnai dengan konflik antar sesama, dimana dalam penyelesaiannya selalu merujuk pada pihak ketiga sebagai mediator (Jawa dan Belanda), menimbulkan anggapan negatif terhadap urang Banjar itu sendiri. Hingga akhirnya, urang Banjar dianggap tidak mampu bekerja sama dengan sesama atau bubuhan. Memang, pada era otonomi daerah sekarang ini yang menjadi leader dari tingkatan terendah sampai pada tingkatan tertinggi hampir seluruhnya urang Banua. Namun sangat disayangkan, kalakuan bacakut papadaan senantiasa menyertai perjalanan kepemimpinan mereka sehingga tidak bertahan lama.

Belum lagi masalah-masalah yang timbul dan sengaja ditimbulkan untuk mengganjal kepemimpinan yang ada. Perseteruan, persaingan dan perbedaan pendapat didunia politik adalah hal yang lumrah adanya. Namun ketika hal tersebut dikaitkan dengan istilah katuju bacakut papadaan pada urang Banjar, menimbulkan sebuah image buruk yang bersifat universal. Akibat dari penafsiran yang salah terhadap istilah bacakut papadaan dan sulitnya upaya untuk meluruskannya. Karena bacakut papadaan terlanjur dianggap sifat, sikap dan budaya serta sudah ajal tadi.

Sebenarnya, urang Banjar kental dengan budaya dan sikap kebersamaan. Yang mana terlihat dari adanya istilah samuak saliur, sarantang saruntung, yang nyata-nyata sebagai gambaran wujud kebersamaan. Ada fenomena menarik manakala bubuhan Banjar madam ka banua urang (orang Banjar ketika berkelana ke negeri orang, red). Ada pembagian job discriftion unik manakala urang Kandangan dan rantau dirujuk sebagai pelindung, urang Martapura sebagai imam dan urang Amuntai/Halabiu selaku kaum pebisnis. Job discription baku yang entah berdasarkan persetujuan dari pihak mana. Tetapi nyatanya mendapatkan semacam legalitas dikalangan masyarakat Banjar. Dan hal itu masih berlangsung serta melekat kuat dikalangan Banjar perantauan seperti pada masyarakat Banjar di Tembilahan, Riau maupun mereka yang berada di Malaysia atau Brunei Darussalam, misalnya.

Dari fenomena diatas, terlihat betapa urang Banjar sangat menjunjung tinggi azas kebersamaan. Namun entah kenapa, azas tersebut menjadi surut ketika berkutat di banua saurang (dinegeri sendiri, red). Nah, itulah urang Banjar…
***


Seurce : Myrasta’s Blog

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Bacakut Papadaan, Fenomena Perilaku Politik Urang Banjar…"