Senin, 13 Mei 2013

Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua


*Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua

Bagian Pertama

Diranah Banjar, terdapat beberapa sub etnis dengan budaya, perilaku dan kearifan lokal masing-masing. Sudah jamak disini, ketika muncul ketentuan baku yang entah mendapatkan legalitas dari mana, tentang pembagian keahlian berdasarkan sub etnis dan perilaku yang dianut. Bagaimana dimasyarakat Banjar, urang (penduduk, red) Rantau dan Kandangan diidentikkan sebagai pelindung, urang Barabai, Amuntai dan Nagara sebagai kaum pebisnis, urang Kelua sebagai ahli perkebunan dan urang Martapura sebagai imam.
Semua tak lepas dari budaya, perilaku dan kearifan lokal yang dianut setiap sub etnis yang ada. Salah satunya adalah perilaku (atau budaya?) urang Rantau dan Kandangan yang tak terpisah dari senjata tajam (disini dikatakan sebagai belati, karena sajam bermakna universal atas senjata, sedang urang kita banua mengistilahkan sajam yang sering dibawa, lebih spesifik lagi dengan sebutan belati atau balati bila dilafalkan dalam bahasa Banjar Pahuluan).

Sebelum berbicara tentang membawa belati sebagai suatu perilaku dan budaya masyarakat, perlu digarisbawahi bahwa urang Rantau dengan urang Kandangan adalah satu kesatuan sub etnis Banjar. Hal itu dibuktikan dengan kesamaan atau kemiripan budaya, bahasa dan ciri fisik.
Mereka menjadi berbeda ketika terpisahkan oleh batas teritorial administratif pemerintahan akibat dari pemekaran wilayah. Dari asal katanya, Rantau yang berarti perantauan, terlihat bila daerah itu dihuni oleh sub etnis terdekatnya yaitu Kandangan, bukan sub etnis yang berbeda. Atau misalnya dari segi bahasa, dimana terdapat kemiripan antara bahasa urang Rantau dengan bahasa urang Sungai Raya, Kandangan, dengan ciri bahasa yang cepat, tinggi dan keras.

Dalam hal membawa belati pada urang Rantau dan Kandangan, disebabkan dua aspek yang saling berhubungan, yaitu sosiologis kultural dan geografis. Secara sosiologis kultural, urang Rantau dan Kandangan memiliki keterlambatan dalam hal transpormasi budaya. Keterlambatan itu sendiri, disebabkan letak geografis wilayah Rantau dan Kandangan yang lebih kedaratan atau pedalaman.
Etnis Banjar yang mendiami daerah pesisir, seperti Banjar sendiri, Nagara, Amuntai dan Alabiu, mengalami transpormasi nilai budaya yang lebih cepat. Karena merekalah yang pertama berinteraksi dengan pihak luar. Berbeda dengan urang Rantau dan Kandangan. Letak geografis yang lebih kedarat, membuat sub etnis ini mempunyai tatanan hidup lebih keras dan toleransi budaya lebih kaku.

Kondisi itu akhirnya membentuk pola dan tatanan hidup yang harus disesuaikan dengan kondisi alam. Hal tersebut berpengaruh langsung pada pola mata pencarian, yaitu berkebun, berhuma dan berburu. Pola itu akhirnya mengharuskan masyarakat dari sub etnis ini senantiasa berlaku protektif dengan membekali diri dengan senjata tajam.

Hal tersebut dikuatkan oleh pandangan dari H Rody Ariadi Noor, seorang tokoh masyarakat Kota Rantau. Dikatakannya, budaya membawa belati pada urang Rantau karena patokan harga diri yang sangat tinggi dan sikap protektif terhadap keluarga.

“Tingginya patokan harga diri pada urang Rantau, menjadikan mereka terkadang over protektif terhadap keluarga. Bila ada keluarga atau kawan yang diganggu orang, mereka siap tampil untuk membela. Ini salah satu penyebab budaya belati yang melekat pada diri urang Rantau,” ujarnya.

Letak geografis dan pola hidup yang keras, memunculkan sebuah konsep bubuhan (kekerabatan, red). Dimana konsep bubuhan ini hanya terdapat pada urang Rantau dan Kandangan. Sedang pada sub etnis Banjar yang lain, seperti sub etnis Banjar pesisir dan Banjar sendiri, mempunyai igelilter atau tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap pengaruh luar.

Tuntutan pola pencarian yang mengharuskan mereka berinteraksi dengan pendatang, membuat sub etnis ini lebih terbuka terhadap transformasi budaya. Selain itu, pada sub etnis Banjar yang nota bene adalah kalangan istana ini, mengharuskan mereka menganut budaya sopan santun yang lebih kental.
Pola hidup berburu dan berkebun pada urang Rantau dan Kandangan, menjadikan resestensi kehidupan mereka kental dengan budaya membawa senjata tajam, dalam hal ini belati. Namun penggunaan belati disini, lebih merujuk kepada upaya untuk survive, karena kondisi alam yang keras.

Hal itu diperkuat pernyataan Madi, seorang warga Rantau yang sering membawa belati. Menurutnya, budaya belati pada urang Rantau semata untuk menjaga diri. “Bagi urang Rantau, belati adalah teman. Bila tidak membawa belati seakan tidak berteman. Karena menurut keyakinan mereka, hanya belati yang mampu melindungi bila sesuatu terjadi. Sedang kawan bisa saja lari,” ujarnya.

bersambung

Seurce : Myrasta’s Blog

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua"