Senin, 12 November 2012

Mencari rezeki atau mencari Mati..?

EMPAT warga Indonesia ditembak mati polisi
Malaysia, pekan lalu. Kabar ini tentu saja menyentak
publik di tanah air, dan kembali menyulut kontroversi.
Baik mengenai perlindungan negara terhadap
warganya yang berada di luar negeri, maupun tentang
kebijakan pengiriman tenaga kerja ke manca negara.
Peristiwa tebunuhnya warga Indonesia oleh aparat di
Malaysia, bukanlah yang pertama kali. Tahun ini saja
tercatat setidaknya ada tiga insiden serupa. Pihak RI
menerima saja keterangan resmi sang tetangga. Publik
tak melihat langkah konkret negara mencari kejelasan
musabab pembunuhan terhadap warganya oleh aparat
di negara lain.
Kurangnya perlindungan terhadap warga Indonesia
yang mencari nafkah di luar negeri mengakibatkan
jumlah kasus yang menimpa mereka terus meningkat.
Publikasi Migran Care menyebutkan 1.018 pekerja
Indonesia meninggal pada 2009, dan meningkat jadi
1.078 orang tahun berikutnya.
Pada insiden terakhir, alih-alih berusaha mencari
kejelasan mengenai kematian itu melalui pengusutan,
para petinggi malah meributkan bahwa yang meninggal
bukan tenaga kerja melainkan warga Indonesia.
Seolah, kalau warga yang bukan tenaga kerja mati di
tanah jiran itu bukan persoalan.
Bahwa orang itu tidak terdaftar sebagai tenaga kerja
yang resmi dikirim oleh agen-agen pengiriman di
tanah air, tidak lantas menhapus fakta bahwa dia
adalah orang Indonesia. Demikian pula mengenai
apakah ia masuk dan bekerja secara resmi atau gelap,
itu persoalan kemudian.
Dalam keterangan resminya, polisi Malaysia
menyebutkan keempat lelaki asal Indonesia itu terlibat
perampokan, karena itu terpaksa ditembak. Dan,
keterangan ini pula yang dijadikan dasar oleh pihak
Indonesia untuk tidak mempersoalkan lebih jauh
pembunuhan atas warganya.
Betul, bahwa siapa pun yang melakukan tindak
kriminal di suatu tempat akan berhadapan dengan
ketentuan setempat. Warga Malaysia yang merampok
atau jadi agen narkotika di Indonesia pun, jika
tertangkap harus berhadapan dengan hukum
Indonesia. Demikian pula sebaliknya. Orang Indonesia
yang ditangkap karena perkara kriminal di Malaysia
harus pula tunduk pada hukum di sana.
Persoalannya kemudian adalah, seberapa jauh negara
asal orang itu memberi perlindungan dan jaminan
kepadanya meski dia sedang berada di negeri lain,
terlepas dari apakah ia terlibat perkara kriminal atau
bukan.
Bagaimana pemerintah Australia melakukan upaya dan
berbagai cara pendekatan ketika seorang warganya
terlibat kasus narkotika di Bali. Bahkan sampai vonis
dijatuhkan dan masa hukuman sedang dijalani,
pemerintah jiran itu terus menerus mendekati
Indonesia untuk bisa membebaskan atau setidaknya
memberi keringanan hukuman pada warganya yang
terkena perkara hukum.
Kasus Flor Contemplacion bisa dijadikan contoh. Flor
bersama rekannya asal Filipina dituduh membunuh
anak majikannya di Singapura, tahun 1995.
Pemerintah Filipina berang, hubungan diplomatik
kedua negara itu tegang. Dubes Filipina di Singapura
ditarik. Menteri Luar Negeri Filipina --saat itu Roberto
Romulo-- menyatakan mundur dari jabatannya karena
gagal melakukan upaya diplomatik maksimal.
Bayangkan, seorang menteri rela kehilangan
jabatannya karena tidak bisa memperjuangkan nasib
seorang babu yang dituduh membunuh.
Di Malaysia sendiri terdapat empat kategori kejahatan
yang bisa dikenakan hukuman mati, yakni kasus dadah
(narkoba), pembunuhan, kepemilikan senjata api ilegal,
dan penculikan. Publik di tanah air tak memperoleh
gambaran yang jelas mengenai kesalahan keempat
warga RI itu, sehingga layak ditembak di tempat,
kecuali dari keterangan polisi setempat bahwa mereka
adalah perampok.
Mengapa pihak berwenang di tanah air seperti tidak
juga peduli sebagaimana dituduhkan banyak pihak?
Apakah karena mereka hanya sebagai buruh, atau
cuma karena mereka pendatang gelap yang mencari
hidup di negeri jiran yang kasusnya tak akan
berdampak politik, sebagaimana bila menyangkut
orang yang dicurigai sebagai teroris?
Warga Indonesia, laki-perempuan, di dalam dan di luar
negeri, samalah haknya dengan pebisnis dan para
kandidat doktor di sini mau pun di negara manca.
Mereka adalah warga negara, dengan hak-hak
kewarganegaraan yang sama, termasuk haknya untuk
memperoleh perlindungan negara.
Di lain sisi, kekerasan demi kekerasan terhadap warga
Indonesia di negeri jiran, seharusnya membuat jera
yang kemudian menahan arus migran dari tanah air ke
negeri asing. Namun tiap tahun ribuan orang,
perempuan maupun laki tetap saja berbondong ke
Malaysia, Singapura, Hongkong, dan negara-negara
lain untuk mencari nafkah dengan cara yang mereka
kuasai.
Jangan-jangan tanah air kita ini subur-makmur ini
betul-betul sudah tak lagi mampu memberi mereka
harapan dan kehidupan yang layak. Sebuah tamparan
keras yang harusnya menyadarkan para petinggi
negara ini untuk menghentikan retorika dan janji-janji
kosong belaka. (*)


Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Mencari rezeki atau mencari Mati..?"